Crocodile Strike, Latihan Bantuan Kemanusiaan dan Bencana Australia

Crocodile Strike, Latihan Bantuan Kemanusiaan dan Bencana Australia

Militer.or.id – Crocodile Strike, Latihan Bantuan Kemanusiaan dan Bencana Australia.

Pekan lalu, Euan Graham diberi akses istimewa oleh Departemen Pertahanan Australia untuk bergabung dengan sekelompok kecil pengamat militer regional (dari Malaysia, Thailand, Vietnam dan Jepang) terkait Crocodile Strike Exercise, latihan gabungan antara ADF (Australian Defence Force) dan Marine Rotational Force-Darwin (MRF-D) Amerika Serikat. Ini merupakan kesempatan langka terkait interaksi Korps Marinir AS (USMC) dengan ADF, masyarakat lokal dan pengamat militer internasional. Bagian Pertama dari rangkaian ini merefleksikan latihan itu sendiri, Bagian Dua berfokus pada masa depan angkatan laut di Darwin.

ADF dan Marinir AS sudah ambil bagian dalam Southern Jackaroo, sebuah latihan tempur trilateral dengan Jepang. Crocodile Strike merupakan latihan yang baru pertama kali digelar, yang bisa ditiru dibidang interoperabilitas dan kerja sama dalam Bantuan Kemanusiaan dan Bantuan Bencana (HADR).

Elemen ‘lapangan’ utama latihan ini adalah pengiriman proyek berbasis masyarakat ke Warruwi, sebuah pemukiman terpencil di Pulau Goulbourn Selatan di Arnhem Barat, 300 kilometer di sebelah timur Darwin.

Warruwi adalah komunitas Aborigin yang ketat, dikelola dengan baik dengan populasi di musim kemarau sekitar 300 orang. Infrastruktur berada dalam kondisi yang lebih baik daripada di banyak pulau di Top End. Tetua masyarakat setuju untuk menjadi tuan rumah latihan karena Pulau Goulbourn Selatan dua kali dievakuasi selama musim topan pada tahun 2015. Beberapa penduduk setempat juga bertugas di ADF, membantu memperlancar hubungan.

Sekitar 90 personil militer dikirim ke pulau tersebut untuk latihan tersebut, dari USMC dan Brigade 1 ADF, termasuk insinyur tempur, spesialis utilitas dan tim medis kecil. Alat berat dikirim manggunakan tongkang, sementara pasukan dan pengamat terbang dengan C-130 RAAF dan MV-22 milik USMC.

Sementara kami menerima sambutan hangat dari Warruwi, ‘Crocodile Strike’ mungkin adalah nama yang patut dipertanyakan terkait latihan yang dirancang untuk memperkuat ketahanan masyarakat lokal terhadap bencana alam. Mungkin saya secara tidak sengaja menyarankan ‘Barramundi Assist’ atau ‘Crocodile Stroke’ untuk iterasi berikutnya? Itu menceritakan Marinir yang menggelar latihan dengan serangan malam jarak jauh melawan sel Islamic State fiktif di sekitar RAAF Curtin, 900 kilometer sebelah barat Darwin (Imajinasi Penulis, red). Sekarang MRF-D (‘Murph-Dee’) telah membawa Elemen Air Combat sendiri, radius operasional 900 km tidak akan luput dari pengamatan pengamat militer Indonesia. Mereka diundang ke latihan tapi tidak hadir.

Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu dijadwalkan berada di Darwin minggu ini, untuk melakukan pembicaraan bilateral dengan Menteri Marise Payne, termasuk sebuah briefing tentang Crocodile Strike. Namun sayangnya kunjungan itu ditunda. Menjaga Jakarta ‘on side’ dengan MRF-D sangat penting, mengingat kecurigaan yang sebelumnya disuarakan di Indonesia tentang kehadiran militer AS di dekatnya, meskipun ukurannya sederhana.

The curtain-raiser raid to Crocodile Strike menyediakan lingkungan yang ‘diperebutkan’, seperti yang diminta oleh skenario perencanaan. Namun, komponen HADR berikutnya dari latihan yang saya saksikan di Pulau Goulbourn Selatan sangat tidak biasa. Tim ADF dan USMC yang kecil sibuk bekerja sama dalam tugas konstruksi, memperbaiki pagar dan memurnikan air. Tak satu pun tentara di pulau itu membawa senjata, termasuk senjata samping. Bagi USMC, itu tidak biasa.

Crocodile Strike jelas tidak seperti latihan HADR yang dipimpin sipil. Meskipun digambarkan dalam hal meningkatkan ‘interoperabilitas’, saya merasa ini tentang menguji tingkat kenyamanan masing-masing dari kedua militer di wilayah yang kurang dikenal daripada latihan tempur tempur seperti Talisman Sabre dan Southern Jackeroo.

Militer suka membicarakan kompleksitas dalam hal ‘merangkak berjalan kemudian lari’. Latihan ini sedang dalam fase merangkak, tapi yang lebih menarik untuk diamati karena adanya interaksi spontan dengan komunitas terpencil di Teritorial Utara, dan juga di antara kedua militer di luar batas-batas steril bidang pelatihan militer. USMC dan ADF beroperasi dengan baik, meskipun mereka memiliki tradisi dan budaya berbeda. Crocodile Strike dapat dianggap sebagai stasiun jalan menuju penyebaran HADR bersama di masa depan di wilayah langsung rawan bencana Australia.

HADR bukan kegiatan inti Marinir AS dan merupakan hal baru bagi sebagian besar tentara yang saya ajak bicara dari MRF-D. Tapi bagi Marinir yang berbasis di Okinawa merupakan bagian integral respon AS terhadap Topan Haiyan, di Filipina pada bulan November 2013, dan ‘triple disaster’ Jepang pada bulan Maret 2011. Sebenarnya, usaha logistik yang diperlukan untuk pengiriman HADR tumpang tindih dengan surprising degree that of expeditionary operations. Oleh karena itu ada nilai pelatihan umum, baik untuk USMC dan ADF, dari latihan seperti Crocodile Strike.

Selain itu, Marinir AS memiliki tradisi panjang dalam melaksanakan operasi ‘tindakan sipil’, di Asia Tenggara dan tempat lain. Memori kelembagaan dari hal ini memudar saat penempatan tempur pasca-9/11 di AS yang meluas ke Irak dan Afghanistan, walaupun juga kegiatan sipil dipraktekkan di sana. Hal yang sama juga terjadi pada Korps Marinir dalam sebuah misi maupun peran amfibi, yang sekarang dibawa kembali ke permukaan dalam konteks Pacific yang berorientasi maritim. Untuk bagiannya, Angkatan Darat Australia juga telah kembali menguasai kemampuan amfibi dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak mengherankan, untuk sebuah inisiatif top-down yang muncul untuk memberikan harapan lokal merujuk statment Presiden Obama mengenai “pivot” AS ke Asia, dalam kunjungannya ke Australia pada bulan November 2011, rotasi pasukan Marinir di Darwin telah berjuang untuk menemukan sebuah misi yang jelas.

Sekarang sudah memasuki rotasi keenam, kekuatan MRF-D saat ini sekitar 1250, jauh di bawah angka 2.500 dari elemen tentara dan Marine Air Ground Task Force (MAGTF) yang semula diperhitungkan. Perundingan antara Australia dan AS untuk pendanaan bersama infrastruktur yang berkelanjutan terkadang tidak sesuai harapan. Namun elemen pendukung utama MRF-D untuk masa pakai selama 25 tahun telah disepakati, sebagai bagian dari Force Posture Initiative yang lebih luas, yang juga terdiri dari untaian Enhanced Air Cooperation.

Re-lokasi Resimen Lapis Baja ADF ke Australia Selatan telah membuka ruang yang signifikan di Robertson Barracks Darwin, termasuk penyimpanan kendaraan penting selama musim hujan. Marinir akan memiliki ruang yang cukup besar untuk ekspansi di masa depan. Konstruksi baru di Robertson dijadwalkan berlangsung dalam jangka waktu 2022-2025.

Menariknya, persyaratan ketat karantina Australia berarti bahwa kendaraan militer dan helikopter USMC harus dipreteli dan dibersihkan agar memenuhi persyaratan masuk (peraturan ketat yang sama berlaku untuk peralatan ADF yang kembali dari luar negeri). Ini menambah biaya, waktu dan tenaga kerja yang signifikan. Oleh karena itu keputusan USMC untuk mempertahankan 137 kendaraan dan kerangka staf, di Robertson Barracks, diantaranya melalui rotasi.

Ada overhead signifikan yang melekat pada operasi di luar Darwin (sekitar 23 juta dolar AS per rotasi adalah satu angka yang saya dengar), sehingga hierarki USMC secara alami ingin memaksimalkan nilai pelatihan dan akses ke wilayah tersebut. Serta menawarkan akses ke beberapa area pelatihan ‘ADF’ di dekatnya, termasuk lapangan Bradshaw yang luas, Darwin memiliki keunggulan lokasi yang jelas sebagai batu loncatan wilayah tropis ke bagian-bagian dari kawasan maritim Asia Tenggara dan Melanesia. Marinir sudah berlatih bersama secara reguler dengan pasukan Prancis di luar Kaledonia Baru, dan melakukan latihan laut tahunan dengan Koa Moana, pada bulan September, ke Timor Leste, PNG, Fiji dan Tonga, sebagaimana dilansir dari Lowy Institute (30/08).

Photo : Osprey dalam Crocodile Strike (Sergeant Janine Fabre, Australian Army)

Editor : (D.E.S)

author
NKRI adalah harga mati! Demikian menjadi prinsip hidup penulis lepas ini. Berminat terhadap segala macam teknologi militer sejak kelas 5 SD, ketika melihat pameran Indonesian Air Show 1996.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *